Tetesan Hujan

     Seorang gadis yang duduk termangu di sisi jendela kamarnya terdiam membisu sambil menatap lekat kepada tetesan air hujan yang turun membasahi tanah. Tangan kanannya tetap setia menopang wajahnya yang terlihat murung. Kuku tangan kirinya sejak tadi mengetuk-ngetukkan diri ke kaca jendela, pertanda bahwa ia sedang gelisah dan menanti sesuatu yang dalam sekejap dapat mengubah raut kesedihan yang masih setia menghiasi wajah mungilnya. Ia meraih cangkir berisikan kopi yang sudah ia siapkan sejak 5 menit yang lalu, kemudian meniup tepi gelasnya dan membiarkan aroma kopi yang sangat khas itu merasuk kedalam indra penciumannya. Sedikit membuat beban pikirannya berkurang, walaupun bukan aroma kopi tersebutlah yang menjadi jawaban atas segala penantiannya sejak tadi.

     Detak jarum jam dan tetesan air hujan masih terus membimbing harapannya menuju kekecewaan, setidaknya sampai ia menemukan jawaban atas segala penantiannya itu. Berulang kali ia menoleh kearah ponselnya yang terbaring kaku di atas ranjang. Keadaannya masih tetap sama, LED yang tak kunjung menyala dan juga belum mau untuk bersuara. Namun gadis tersebut masih tetap menunggu, sampai ponsel itu mau berbicara dan menyampaikan jawaban atas segala penantian dan harapannya.
15 menit berlalu, keadaan masih tetap sama dan belum mau untuk mengubah diri. Sampai akhirnya, getaran dan suara dari ponsel itulah yang mengubah suasana yang hampir beku karena rasa kecewa. Pandangan datar yang tadinya setia tertuju ke buliran air hujan diluar sana, kini menatap penuh harap dan segera meraih ponsel berwarna putih itu. Dengan ekspresi yang masih tetap sama, gadis tersebut membuka pesan singkat yang muncul dan mulai membacanya. Namun raut wajahnya masih tetap sama seperti sebelumnya. Menandakan bahwa harapannya masih juga belum menemukan jawaban.

     Tidak, bukan dari orang inilah yang ia harapkan. Tidak berniat untuk membalasnya, ponsel itu kembali ia layangkan ke atas kasur dan ia kembali duduk di sisi jendela kamarnya sama seperti keadaan di beberapa detik yang lalu.

     Hujan sudah mulai mengurangi kecepatannya untuk menjatuhkan diri. Embun tebal yang hampir menutupi seluruh bagian jendela, ia usap dengan menggunakan tangan kirinya yang kini ikut merasakan dinginnya benda keras namun rapuh tersebut. Bekas sentuhannya di jendela itu berhasil membentuk sebuah lingkaran dengan bentuk sisinya yang tak terhingga. Dari lingkaran itulah sang gadis menolehkan pandangan ke sisi luar jendela, memastikan bahwa hujan dan terpaan dinginnya angin sudah tak lagi menyiksa kotanya. Dan benar, hujan dan angin itu sudah pergi.

    Gadis itu lalu melangkahkan kakinya menuju ke pintu, meninggalkan harapannya untuk membaca pesan singkat yang seharusnya dapat melegakan batinnya. Belum sempat meraih knop pintu, sebuah suara kecil berdering dari ponselnya. Tanpa semangat untuk menerka lagi siapa orang yang ada di balik isyarat kecil tersebut, ia berjalan malas menuju ke tempat ponselnya berada. Ponsel itu diraihnya tanpa nafsu dan mulai membuka pesan singkat yang belum dapat ia duga siapa pengirimnya.

     Perlahan ia mencerna setiap kata yang tertata rapi, di akhiri dengan emoticon smile dan hug di bagian akhirnya. Serangkaian kata-kata penuh perhatian dan penyemangat melalui pesan singkat, ternyata bagaikan pelangi yang muncul di tengah gelapnya kabut yang tebal. Hati seorang gadis dapat berubah drastis karenanya.

     Genggamannya mulai mengencang setelah membaca pesan singkat pada benda kecil itu. Jantung yang tadinya beku oleh rasa kecewanya, kini sudah mulai berdetak kembali bahkan lebih kencang dari biasanya. Seulas senyuman manis mulai terukir di wajah yang penuh dengan kebahagiaan tersebut. Ia lalu merebahkan diri sambil merangkul ponsel itu tepat didadanya. Matanya mulai terpejam membayangkan wajah dari seorang pria yang bagaikan malaikat dihatinya. Kini harapan dan penantiannya terjawab sudah. Sederhana, namun membahagiakan dan dapat merubah warna di dunianya.

     Tidak ada hal lain yang diharapkan seorang gadis ketika ia sedang bosan dan kecewa, selain perhatian dan kata-kata manis dari seorang pria yang sedang berada di dalam hati dan pikirannya.

“Serangkaian kata-kata penuh perhatian dan penyemangat melalui pesan singkat, ternyata bagaikan pelangi yang muncul di tengah gelapnya kabut yang tebal. Hati seorang gadis dapat berubah drastis karenanya.”

Hati Bagaikan Kaca

      Hati jika di ibaratkan dengan sebuah benda, kurang lebih sama seperti kaca.
Kaca? Ya. Sesuatu yang tampaknya begitu keras dan kuat, namun hanya dengan satu hentakan saja dapat hancur menjadi berkeping-keping. Begitu juga dengan hati seseorang yang dengan sekuat apapun berusaha melawan, jika dihadapkan dengan cinta, akan dengan mudah menjadi lunak dan luluh seketika.

       Jika hati ini di ibaratkan sama seperti kaca tersebut, aku sendiri tidak tahu, entah sudah seperti apa bentuknya saat ini. Mungkin sudah retak, mendekati pintu kehancuran. Namun jika ada sebuah kaca yang sudah hancur, apakah masih dapat dikembalikan ke bentuk semula hanya dengan menggunakan lem perekat? Tentu saja tidak mungkin. Berkali-kali dihempaskan oleh pedihnya kekecewaan, berkali-kali pula menahan rasa sakitnya dikhianati. Mungkin bentuknya benar-benar sudah hancur berkeping-keping.  Tentu saja aku tidak ingin seperti ini. Namun keadaan yang memaksaku untuk mengalaminya. Dan aku sadar, pasti ada pelajaran yang dapat aku petik dari kejadian ini. Ya, tidak untuk membiarkan sembarangan orang dapat menyentuhnya. Tidak membiarkan sembarang orang untuk menyentuh hatiku lalu pergi begitu saja setelah berhasil menjatuhkannya.

        Kecewa itu wajar, namun tidak untuk berlarut-larut. Jika kita tidak dapat mengembalikan kepingan hati yang hancur itu ke bentuk yang semula, setidaknya kita tidak membiarkannya tetap jatuh berserakan di lantai. Kumpulkan kembali pecahan-pecahan kecil itu, lalu simpanlah sampai seseorang yang tepat akan datang menyembuhkannya. Seseorang yang akan membantumu menyusun kepingan itu hingga kembali ke bentuk yang benar-benar sempurna. Seseorang yang tahu kau pernah terluka dan kecewa, sehingga tidak akan rela membiarkanmu merasakannya lagi.

       Karena tidak ada hati yang diciptakan untuk kosong selama-lamanya. Setiap tempat pasti akan memiliki penghuni, tak perduli berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk menemukan tempat tersebut. Tuhan pasti sudah menentukan nasib setiap orang. Yang perlu kamu lakukan adalah berdoa dan berusaha untuk menemukannya. Jodoh memang pasti akan bertemu, jika kamu mau mencarinya, bukan dengan berdiam diri menantikan kehadirannya.

“Jika kita tidak dapat mengembalikan kepingan hati yang hancur itu ke bentuk yang semula, setidaknya kita tidak membiarkannya tetap jatuh berserakan di lantai.”

Merindu

     Ketika aku merindumu, tak ada hal lain yang dapat kuperbuat selain mengharapkanmu merasakan hal yang sama pula. Pesan-pesan singkat darimu bahkan masih tersimpan rapi di ponselku, tak sedikitpun terbersit dibenakku untuk menghapusnya. Menandakan bahwa aku sangat menghargai setiap moment-moment kecil bersamamu. Disatu sisi, memori yang tersimpan itu dapat melegakanku disetiap kali aku merindumu. Di sisi lain, aku merasa semakin tersiksa, aku selalu ingin memori itu terulang dan terputar kembali walau rasanya sedikit sulit. Keterbatasan “status” membuatku harus menahan rasaku yang sepertinya semakin hari semakin ingin berteriak, bahwa aku membutuhkanmu.

    Terkadang aku ragu, apakah hal yang sama juga terjadi padamu, atau sebaliknya. Seperti diriku, yang selalu tersiksa oleh dalamnya rasa rindu dan rasa ingin bertemu. Anehnya, tidak ada satu katapun yang dapat terlontar begitu aku bertemu pandang denganmu. Darahku terasa membeku dan pikiranku mendadak kosong, seakan tidak pernah ada rasa rindu yang mencuat sebelumnya. Tidak ada satu katapun yang dapat terucap setiap kali aku melihatmu. Namun ada satu hal yang dapat terpuaskan. Ya, rasa rinduku.

     Inilah resikonya, ketika aku dan kamu sama-sama mengakui adanya suatu rasa yang berbeda dan hadir diantara kita, namun kita belum berani mengambil keputusan untuk melangkah lebih jauh karena keadaan yang kurang tepat. Lantas, kita ini apa? Pacar? Tidak, aku sadar dimana posisiku saat ini. Sahabat? Aku rasa lebih dari itu. Tetapi bagaimana mungkin, terjebak diantara status yang mengambang seperti ini, sampai kapan? Apa sampai kita berdua merasa bosan dan akhirnya rasa itu menghilang perlahan? Tentu tidak akan kubiarkan.

    Saat ini, mungkin aku hanya bisa sebatas merangkul bayanganmu. Sebatas mengagumi senyummu yang mungkin muncul bukan karenaku. Memeluk dirimu hanya sebatas mimpi dan anganku. Mungkin untuk sementara akan tetap seperti ini.

     Bukan berarti aku akan menyerah dan berpasrah pada keadaan. Aku percaya, suatu saat nanti, akan ada saat dimana jarak dan keadaan akan hancur oleh kerasnya rasa ini untuk bertahan. Selama aku, dan kamu, masih saling meyakini dan memiliki rasa. Aku percaya dan yakin, waktu yang selama ini tlah ku tunggu-tunggu, akan datang dengan segera. Waktu dimana kita akan dipersatukan, tanpa terbatas oleh keadaan dan para penghalang. Bersabarlah, sayang.

“Keterbatasan status membuatku harus selalu menahan rasaku yang sepertinya semakin hari semakin ingin berteriak, bahwa aku membutuhkanmu.”

Akulah si Wanita Bodoh

Semua sudah berubah. Semuanya sudah berbalik. Apa yang seharusnya berjalan dengan manis, sekarang sudah berubah menjadi pahit dan siap untuk patah ditengah jalan. Menyukai seseorang yang berbeda keyakinan, bukan menjadi alasan untuk berhenti berjuang dan tidak melanjutkan, kan? Pria itu yang tadinya baik, selalu menghujaniku dengan perhatian dan pengertian, berubah menjadi cuek, nggak mau tahu dan mendiamkanku habis-habisan. Memang aku yang salah. Aku yang diam-diam memilih untuk keluar dari kehidupannya. Tapi, bukankah seharusnya dia mencariku dan bertanya ada apa? Mengapa saat aku pergi begitu saja, dia tidak pernah mencariku dan memintaku untuk kembali? Apa ternyata, selama ini hanya aku yang mati-matian mengharapkannya, sementara ia tidak demikian?

    Aku sempat berniat untuk kembali ke dalam hidupnya dan memulai lagi dari awal meskipun kedengarannya tidak mungkin. Namun niatku terhenti. Wajahku terasa tertampar begitu melihatnya sedang mendekati wanita lain yang aku tahu persis siapa orangnya. Apakah aku yang bodoh, ataukah dia yang brengsek?

   Sekarang semuanya sudah jelas tergambarkan. Akulah yang selama ini mati-matian menyukainya, mengharapkannya dan mengkhawatirkannya, sementara ia tidak sama sekali. Aku benar-benar merasa kecewa dan sakit yang berlebih. Tetapi aku seharusnya tidak berhak untuk marah dan cemburu seperti ini. Seharusnya tidak begini, ini salah. Memangnya aku ini siapa? Dia bahkan tidak pernah tahu, semenjak aku memutuskan untuk pergi, aku selalu menangisinya setiap malam dan merasa bodoh telah membuatnya kecewa atas diriku. Aku mengira bahwa selama ini ia selalu memikirkanku, menangisi keputusanku, bahkan menyesal atas semua tindakanku. Namun semua pemikiranku ternyata salah, akulah yang berada di posisi itu. Akulah yang selalu menangisinya, akulah yang selalu memikirkannya, dan akulah yang sangat menyesal atas semuanya.

    Sekarang, aku benar-benar merasa bodoh. Bodoh atas batinku yang ternyata tidak bisa mengiklaskannya. Aku berkali-kali mencoba untuk membunuh perhatianku dan rasa ingin tahuku tentangnya. Namun rasa itu sama seperti bayangan bulan. Ketika aku berjalan, dia seolah-olah mengikutiku. Namun ternyata tidak, akulah yang selama ini berjalan di sekitarnya, diam-diam memperhatikan gerak-geriknya, dan merasa bahwa ia mengikutiku sama seperti aku mengikutinya. Semakin hatiku berusaha untuk menjauh, semakin kuat pula keinginanku untuk kembali dan mendekat kepada seseorang yang saat ini sudah benar-benar pergi jauh.

Ada saat dimana rasa itu sudah mulai memudar dan lukaku sudah hampir mengering. Namun entah mengapa, disaat aku kembali melihatnya dengan wanita yang berbeda pula, aku merasa semakin marah, kecewa, dan membenci semua hal yang membuatku menjadi seperti ini. Rasa cemburu berlebihan yang aku tahu posisinya sangatlah salah ini benar-benar tidak bisa untuk ku padamkan. Rasanya ingin sekali aku pergi ke tempat lain, menyendiri dan melahirkan kembali diriku yang baru. Bukan lagi aku si wanita bodoh, melainkan aku si wanita kuat. Namun rasanya tidak mungkin. Aku tetaplah aku. Nasibku tetaplah nasibku.

Sekarang, jadilah aku, si wanita bodoh yang masih terus mengharapkannya. Si wanita bodoh yang masih tersakiti hatinya oleh seorang pria yang sama sekali bukan miliknya, dan tidak akan pernah untuk menjadi miliknya.

“Sekarang semuanya sudah jelas tergambarkan. Akulah yang selama ini mati-matian menyukainya, mengharapkannya dan mengkhawatirkannya, sementara ia tidak sama sekali.”

Harapan Sang Hujan kepada Sang Pelangi

Pernahkah kalian mendengar bahwa pelangi hanya akan ditemui setelah turunnya hujan? Hal itu memang benar. Namun apa jadinya jika pelangi tak kunjung muncul, bahkan setelah hujan turun dengan derasnya? Kecewa bukan? Atau mungkin jauh melebihi dari arti kekecewaan itu sendiri.

      Begitulah segenggam makna yang tersirat dari sebuah kata, yaitu ‘harapan’.

     Seseorang yang tlah rela memperjuangkan apa yang ia miliki, demi mendapatkan hati seseorang yang selama ini sudah menjadi sebuah pelangi di dalam kehidupannya. Pelangi yang sudah berkali-kali melukiskan senyuman disaat yang tidak terduga di bibirnya, namun sama sekali tidak mengetahui tentang seberapa penting kehadiran dirinya bagi insan penanti tersebut. Berkali-kali pula sang matahari datang, menyemangati sang hujan dan menyadarkan bahwa ia tlah salah menjatuhkan harapan. Namun sang hujan tetap berkeras hati dan menutupi celah bagi sang matahari yang masih terus-menerus berusaha menyadarkannya.

     Kerasnya hati dapat menutupi kebenaran, dan keegoisan dapat membutakan mata hati. Sampai kapanpun, sang hujan akan tetap menanti sang pelanginya, yang tidak akan pernah dapat ia miliki seutuhnya. Bahkan yang seharusnya melukiskan warnapun, dapat dengan mudahnya melukiskan luka bercampur kekecewaan. Sang hujan tetaplah sang hujan. Harapan tetaplah harapan. Selamanya akan tetap begitu.

   Satu hal yang membuatnya menjadi sekeras itu, yaitu besarnya keyakinan yang ia miliki. Tak perduli benar atau salah, ia akan terus memegang teguh harapannya. Harapan dan keyakinan yang telah ia pegang teguh sejak awal, bahwa ia akan dapat memiliki warna dan keindahan dari sang pelangi seutuhnya. Sangat mustahil sekali. Sesuatu yang begitu indah dan menarik, berharap dimiliki oleh sesuatu yang sama sekali tidak diharapkan oleh siapapun. Seperti halnya kehadiran hujan selama ini di dalam kehidupan kita, hanya menyusahkan saja bukan? Membuat aktivitas kita menjadi terganggu, terhenti, dan tertunda. Semua yang sudah dipersiapkan sejak awal, akan hancur berantakan begitu adanya kehadiran sang hujan tersebut.

     Mengharapkan sesuatu yang sangat mustahil memanglah menyakitkan. Kita bahkan sudah tahu bagian akhir dari cerita tersebut, namun tetap saja berkeras hati untuk berpura-pura bahwa semuanya akan baik-baik saja. Lalu, bagaimana dengan kamu? Seseorang yang masih mengharapkan orang lain yang sudah bisa ditebak bagian ending dari kisahnya? Mengharukan sekali.

    Memang tidak ada yang salah dari “berharap”, yang salah adalah ketika kamu berkeras hati menjatuhkan harapan kepada sesuatu yang tidak mungkin untuk menangkapnya, dan menutup peluang bagi seseorang yang benar-benar tulus dan ingin membahagiakan hatimu yang tidak seharusnya jatuh dan tersakiti.

    Semua keputusan ada di tanganmu, tetap berharap dan terus tersakiti, atau pergi darinya dan mencoba untuk menerima kenyataan. Tetap menjadi sang hujan yang berharap dapat menggenggam keindahan, atau membuka celah bagi sang matahari untuk menerangi hatimu dan menghapuskan pedihnya kekecewaan.

“Kerasnya hati dapat menutupi kebenaran, dan keegoisan dapat membutakan mata hati.”